Senin, 03 September 2018

Belajar Bisnis Dari Khadijah (2)

 Belajar Bisnis Dari Khadijah  Sarana Mengaktualisasikan Diri Manusia memiliki tingkatan kebutuhan dalam hidupnya. Bila dalam kondisi normal orang masih didominasi oleh kebutuhan akan gengsi atau kebutuhan lain di bawahnya, ia tidak berbeda dengan monyet. Di dalam lingkungan sosial, kita dapat menemukan berbagai karakteristik individu. Ada orang yang terobsesi mengumpulkan uang, properti, atau mengejar jaminan perlindungan dan rasa aman sedemikian rupa. Sementara orang lain santai-santai saja dalam hal itu. Ada yang sibuk mencari simpati dan ketenaran, ada yang low profile, lemah lembut dan penuh penerimaan terhadap orang lain. Ada yang aktif menyalurkan hobi, ada pula yang gelisah karena tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal. Variasi karakteristik individu seperti di atas mencerminkan variasi kebutuhan yang mendominasi seseorang. Hal itu mengingatkan kita pada teori hierarki kebutuhan dari Maslow. Secara garis besar teori dari tokoh psikologi humanistik ini menggambarkan lima tingkat (hierarki) kebutuhan, dari yang terendah hingga tertinggi: fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri. Bila kebutuhan dari tingkat yang lebih rendah terpenuhi, secara otomatis individu didorong oleh kebutuhan yang setingkat lebih tinggi. Teori tersebut sangat populer di kalangan psikologi maupun manajemen. Namun, umumnya kita hanya mengingat secara garis besar. Berikut ini disajikan teori Maslow secara lebih lengkap untuk membantu kita memahami perilaku orang-orang di sekitar kita, khususnya memahami diri sendiri, dari sisi motivasi. Karya Maslow Diawali dengan keberatannya atas teori kepribadian dari Sigmund Freud (yang dikembangkan berdasarkan penelitian terhadap individu yang mengalami masalah kejiwaan), Maslow mencoba menemukan ciri-ciri kepribadian sehat pada individu-individu yang menurutnya merupakan wakil-wakil terbaik dari spesies manusia. Maslow meneliti kepribadian 46 orang, baik yang telah meninggal maupun yang masih hidup. Di antara subjek penelitiannya adalah Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Albert Einstein, Eleanor Roosevelt, Goethe. Dari kalangan psikologi, yang diteliti Max Wertheimer dan Ruth Benedict. Untuk mereka yang masih hidup, pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, asosiasi bebas, dan tes proyektif. Untuk yang sudah meninggal, Maslow menggunakan teknik analisis biografi dan otobiografi. Sebagai hasilnya, Maslow menyimpulkan bahwa semua manusia dilahirkan dengan kebutuhan instingtif yang mendorong untuk bertumbuh dan berkembang, untuk mengaktualisasi diri, mengembangkan potensi yang ada sejauh mungkin. Potensi untuk pertumbuhan dan kesehatan psikologis itu diaktualisasi (diwujudkan) atau tidak, tergantung pada kekuatan individual dan sosial yang memajukan atau menghambat. Pada umumnya manusia memiliki potensi lebih banyak daripada apa yang dapat dicapai. Tidak banyak orang yang mencapai aktualisasi diri. Namun, Maslow tetap optimis tentang kemungkinan bahwa jumlah orang yang mencapai keadaan ideal ini dapat semakin banyak. Prasyarat untuk mencapai aktualisasi diri adalah dengan memuaskan empat kebutuhan yang lebih rendah. Hierarki Kebutuhan Konsep hierarki kebutuhan Maslow mengasumsikan bahwa tingkat kebutuhan yang lebih rendah dipuaskan atau relatif terpuaskan sebelum kebutuhan lebih tinggi menjadi motivator. Jadi, kebutuhan lebih rendah merupakan prepotensi bagi kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, sehingga harus dipuaskan terlebih dahulu. Orang yang termotivasi oleh kebutuhan harga diri atau aktualisasi diri pasti telah terpuaskan kebutuhannya akan makanan, rasa aman, dan kasih sayang. 1. Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan ini meliputi makanan, air, oksigen, suhu tubuh teratur, dan sebagainya. Yang sangat penting untuk kelangsungan hidup, sehingga paling kuat di antara kebutuhan lainnya. Inilah satu-satunya kebutuhan yang dapat dipuaskan sedemikian rupa, sehingga seseorang dapat sangat puas, meski kebutuhan ini muncul berulang-ulang secara ajek. Mereka yang kelaparan, sangat sedikit peluangnya mendapatkan makanan (karena miskin atau dalam keadaan tidak makan berhari-hari) akan didominasi kebutuhan ini dan tidak sempat memikirkan kebutuhan lainnya. Pada orang berkecukupan, yang mereka pikirkan bukan sekadar adanya makan, melainkan soal selera. Bila yang kesulitan mendapatkan makanan bertanya, “Hari ini bisa makan atau tidak”, yang berkecukupan, “Mau makan apa sekarang?” 2. Kebutuhan Rasa Aman Kebutuhan ini meliputi keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, bebas dari ancaman (sakit, ketakutan, kecemasan, bahaya, dan keadaan chaos). Selain itu juga kebutuhan akan hukum, keteraturan, dan struktur. Berbeda dengan kebutuhan fisiologis, kebutuhan ini tidak dapat terlalu dipuaskan: tidak ada orang merasa sangat aman. Dalam situasi ketidakpastian, misalnya dalam situasi chaos saat kondisi politik memanas, saat ada isu tsunami, dsb, kita berusaha sebanyak mungkin memiliki jaminan, perlindungan, dan ketertiban. Pada anak-anak, kebutuhan rasa aman ini sangat tinggi karena mereka dapat merasa terancam oleh berbagai situasi lingkungan: ruang gelap, binatang, hukuman dari orangtua dan guru, dsb. Orang dewasa yang neurotik juga relatif tinggi kebutuhannya akan rasa aman. Hal ini disebabkan ketakutan irasional yang dialaminya akibat rasa tidak aman yang dibawa sejak masa kecil. Ia sering mengalami perasaan dan bertindak seperti ketika ia mendapatkan situasi mengancam ketika masa kecil. Mereka menguras energi lebih banyak daripada orang lain yang berkepribadian sehat untuk melindungi dirinya. Hal ini dapat muncul dalam berbagai gejala. Mereka yang sering terancam hukuman orangtua di masa kecil, lebih sering berusaha mencari rasa aman dengan berbohong, melakukan segala sesuatu dengan keteraturan yang berlebihan untuk menghindari celaan. Mereka yang saat kecil merasa terhina karena kemiskinan, terpacu berlebihan untuk mengumpulkan uang atau properti sebanyak-banyaknya. Bila usahanya kurang berhasil, mereka menderita kecemasan neurotik yang oleh Maslow disebut basic anxiety. Pada orang berkepribadian sehat, yang berhasil mengatasi kecemasan masa kecil, kebutuhan rasa aman akan menguat dalam situasi khusus, seperti ketika terjadi bencana, sakit, perang, dsb. Dalam situasi yang mengancam seperti itu kebutuhan lain yang tingkatnya lebih tinggi kurang dirasakan. 3. Kebutuhan Akan Cinta dan Rasa Memiliki Kebutuhan ini meliputi kebutuhan persahabatan, memiliki pasangan dan anak, keanggotaan dalam keluarga, keanggotaan dalam kelompok tertentu, bertetangga, kewarganegaraan, dsb. Termasuk di dalamnya adalah kebutuhan akan aspek-aspek seksual dan kontak manusiawi sebagai wujud kebutuhan untuk saling memberi dan menerima cinta. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta, yang tak pernah mendapat ciuman atau pelukan, dalam jangka panjang tidak akan dapat mengekspresikan cinta. Mereka cenderung mendevaluasi cinta, menganggapnya tidak penting. Mereka yang hanya sedikit mendapatkan cinta, dapat menjadi sangat sensitif terhadap penolakan dari orang lain. Mereka memiliki kebutuhan afeksi yang tinggi: berusaha mengejar cinta dan rasa memiliki melalui berbagai cara. Di sisi lain, mereka yang terpuaskan kebutuhan cintanya menjadi lebih percaya diri. Bila mengalami penolakan oleh seseorang, ia tidak menjadi panik, yakin bahwa ia mendapatkannya dari orang yang penting bagi dirinya. 4. Kebutuhan Akan Penghargaan Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan penghargaan terhadap diri, keyakinan, kompetensi, dan pengetahuan bahwa orang lain mendukung dengan penghargaan yang tinggi. Menurut Maslow, kebutuhan akan penghargaan ini terdiri dari dua tingkatan: reputasi dan harga diri (self-esteem). Reputasi adalah persepsi mengenai gengsi (prestige) atau pengakuan dari orang lain, sedangkan harga diri adalah perasaan seseorang bahwa dirinya berharga. Harga diri memiliki dasar yang berbeda dari gengsi; merefleksikan kebutuhan akan kekuatan untuk berprestasi, adekuat, penguasaan dan kompetensi bidang tertentu, yakin dalam menghadapi dunia sekelilingnya, serta kemandirian dan kebebasan. Dengan kata lain, harga diri bersandar pada kompetensi nyata, bukan sekadar pandangan orang lain. Ada sebuah canda sehubungan dengan kebutuhan sampai tahap ini: manusia dibedakan dengan monyet dalam kebutuhan penghargaan ini. Monyet memiliki kebutuhan sama dengan manusia hingga tingkat tiga setengah, yakni kebutuhan akan gengsi. Namun, monyet tidak mungkin memiliki kebutuhan di atas level tiga setengah (kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri). Jadi, bila dalam kondisi normal seseorang masih dikejar oleh kebutuhan akan gengsi atau kebutuhan lain di bawahnya, ia tidak berbeda dengan monyet. 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri Kebutuhan ini mencakup pemenuhan diri (self-fulfillment), realisasi seluruh potensi, dan kebutuhan untuk menjadi kreatif. Mereka yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi lebih manusiawi, lebih asli dalam mengekspresikan diri, tidak terpengaruh oleh budaya. Agak berbeda dengan perkembangan kebutuhan lain, bila kebutuhan penghargaan ini terpenuhi, tidak secara otomatis kebutuhan meningkat ke aktualisasi diri. Maslow menemukan bahwa mereka yang lepas dari kebutuhan penghargaan dan mencapai kebutuhan aktualisasi diri adalah yang memberikan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kebenaran, keindahan, keadilan, dan nilai-nilai sejenis. Karakteristik Aktualisasi Diri dan Faktor Penghambat Aktualisasi dapat didefinisikan sebagai perkembangan paling tinggi yang disertai penggunaan semua bakat, pemenuhan semua kualitas dan juga kapasitas seseorang. Menurut maslow ada beberapa karakteristik yang menunjukkan seseorang mencapai aktualisasi diri, antara lain sebagai berikut: 1 Karakteristik Aktualisasi a. Mampu melihat realitas secara lebih efesien Karakter atau kapasitas ini akan membuat seseorang untuk mampu mengenali kebohongan, kecurangan dan kepalsuan yang dilakukan orang lain, serta mampu menganalisis secara kritis, logis dan mendalam terhadap segala fenomena alam dan kehidupan, karakter tersebut akan menimbulkan sikap yang emosional, melainkan lebih objektif . Dia akan mendegarkan apa yang seharusnya didengarkan bukan apa yang diiginkan dan ditakuti orang lain. Ketajaman terhadap realitas kehidupan akan menghasilkan pola pikir yang cemerlang menerawang jauh kedepan tanpa dipengaruhi kepentingan atau keuntungan sesaat. b. Penerimaan terhadap diri sendiri dan orang lain apa adanya Bagi mereka yang telah mengaktualisasikan dirinya akan melihat orang lain seperti melihat dirinya sendiri yang penuh kekurangan dan kelebihan tanpa keluhan atau kesusahan. Ia menerima koadratnya sebagaimana adanya, tidak defensive atau bersembunyi dibalik topeng-topeng atau peranan social. Sifat ini akan menghaslkan sikap toleransi yang tinggi terhadap orang lain serta kesabaran yang tinggi dalam menerima diri sendiri dan orang lain. Sikap penerimaan ini membuatnya mampu mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran, rendah hati dan mau mengakui bahwa ia tidak tahu segala-galanya dan bahwa orang lain akan mengajarinya sesuatu. Dia akan membuka diri terhadap kritikan, saran, ataupun nasehat dari orang lain terhadap dirinya. c. Spontaitas, kesederhan dan kewajaran Orang yang mengaktualisasikan diri dengan benat ditandai dengan segala tindakan ,perilaku dan gagasanya dilakukan secara spontan, wajar dan tidak dibuat-buat. Dengan demikian, apa yang ia lakukan tidak pura-pura, ia tidak harus menyembunyikan emosi-emosinya, namun dapat memperlihatkan emosi-emosi tersebut secara jujur dan wajar. Sifat ini akan melhirkan sikap lapang dada terhadap apa yang menjadi kebisaan masyarakatnya asal tidak bertentangan dengan prinsip yang ia yakini, maka tidak segan-segan mengemukakanya dengan asertif. Kebiasaan dimasyarakat tersebut antara lain seperti adat-istiadat yang amoral, kebohongan, dan kehidupan sosial yang tidak manusiawi. d. Terpusat pada persoalan Orang yang mengaktualisasikan diri seluruh pikiran, perilaku dan gagasanya bukan didasarkan untuk kebaikanya sendiri saja. namun didasarkan atas apa kebaikan dan kepentingan yang dibutuhkan oleh umat manusia. Dengan demikian, segala pikiran, perilaku,dan gagasanya terpusat pada persoalan yang dihadapi umat manusia, bukan peersoalan yang bersifat egois. Ia juga tidak menyalakan diri sendiri ketika gagal melakukan sesuatu. Ia mengaggap kegagalan itu sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa saja. Ia mungkin akan mengecam setiap ketololan dan kecerobohan yang dilakukanya, namun hal-hal tersebut tidan menjadikanya mundur dan menganggap dirinya tidak mampu. Dicobanya lagi memecahkan masalah dengan penuh kegembiraan dan keyakinan bahwa ia mampu menyelesaikanya. e. Membutuhakan kesendirian Orang yang mengaktulisasikan diri memiliki kebutuhan yang kuat untuk memisahkan diri dan mendapatkan suasana kesunyian. Sikap ini didasarkan atas persepsinya mengenani sesuatu yang ia anggap benar. Tetapi tidak bersikap egois. Ia tidak bergantung pada pikiran orang lain. Sifat yang demikian, membuatnya tenang dan logis dalam menghadapi masalah, ia senantiasa menjaga meartabat dan harga dirinya, meskipun ia berada di lingkungan yang kurang terhormat. Sifat memisahkan diri ini terwujud dalam otonomi pengambilan keputusan. Keputusan yang diambilnya tidak dipengaruhi oleh orang lain. Dia akan bertanggung jawab terhadap segala keputusan /kebijakan yang diambil. f. Resistensi terhadap inkulturasi Orang mengaktulisasikan diri sudah dapat melepaskan diri dari ketergantungan yang berlebihan terhadap lingkungan social dan fisik. Pemuasan akan motif-motif pertumbuhan datang dari dalam diri sendiri, melalui pemanfaatan secara penuh bakat dan potensinya. Ia dapat melakukan apa saja dan dimana saja tanpa dipengaruhi oleh lingkungan(situasi dan kondisi) yang mengelilinginya. Kemandirian ini menunjukkan ketahananya terhadap segala persoalan yang menguncang, tanpa putus asa apalagi sampai bunuh diri. Kebutuhan terhadap orang lain tidak bersifat ketergantungan, sehingga pertumbuhan dan perkembangan dirinya lebih optimal. g. Kesegaran dan apresiasi yang berkelanjutan Orang yang teraktualisasi senantiasa menghargai pengalaman-pengalaman tertentu bagaimanapun seringnya pengalaman itu terulang, dengan suatu perasaan kenikmatan yang segar, perasaan terpesona dan kagum. Ini merupakan manifestasi dari rasa syukur atas segala potensi yang dimiliki pada orang lain yang mampu mengaktulisasikan dirinya. Ia akan diselimuti perasaan senang, kagum dan tidak bosan terhadap segala apa yang ia miliki. Walaupun hal ia memiliki tersebut merupakan hal yang biasa saja. implikasinya adalah ia mampu mengapresiasikan segala apa yang dimilikinya. Kegagalan seorang dalam mengapresiasikan segala yang dimilikinya dapat menyebabkan ia menjadi manusia yang serakah dan berperilaku melanggar hak asasi orang lain. h. Kesadaran sosial Orang yang mampu mengaktulisasika diri, jiwanya diliputi oleh perasaan empati dan afeksi yang kuat dan dalam terhadap semua manusia, juga suatu keiginan membatu kemanusiaan. Dorongan ini akan memunculkan kesadaran sosial dimana ia memiliki rasa untuk bermasyarakat dan menolong orang lain, ia menemukan kebahagiaan dalam membantu orang lain. Baginya mementungkan orang lain berarti mementingkan diri sendiri. i. Hubungan interpersonal yang kuat Orang yang mampu mengaktualisasikan diri mempunyai kecenderungan untuk menjalin hubungan yang akrap dengan penuh rasa cinta dan kasih saying. Hubungan interpersonal ini tidak didasari oleh tendensi pribadi yang sesaat, namun dilandasi oleh perasaan cinta, kasih sayang dan kesabaran meskipun orang tersebut mungkin tidak cocok dengan perilaku masyarakat disekelilingnya. j. Demokratis Orang yang mampu mengaktulisasikan diri memiliki sifat yang demokrtis. Sifat ini diamanifestasikan dengan perilaku yang tidak membedakan orang lain berdasarkan pengolongan, etis, agama, suku, ras, status sosial ekonomi, partai dan lain-lain. Sifat demokratis ini lahir karena pada orang yang mengaktulisasikan diri tidak mempunyai perasaan rishi bergaul dengan orang lain. Juga karena sikapnya yang rendah hati, sehingga ia senantiasa menghormati orang lain tanpa terkecuali. k. Membedakan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk Orang yang teraktualisasi melihat sarana bias pula menjadi tujuan karena kesenangan dan kepusasan yang ditimbulkanya. Bagi orang –orang yang teraktualisasi, tujuan atau cita-cita lebih penting daripada sarana yang digunakan untuk mencapainya. Meraka lebih senang melakukan atau menghasilakan yang lebih banyak daripada mendapatkanya, atau berarti mencapai tujuan. Pekerjaan bagi orang yang berkepribadian sehat bukanlah semata-mata untuk mendapatkan material, tetapi untuk mendapatkan kesenagan dan kepuasan. Menyenagai apa yang dilakukan sekaligus melakukan apa yang disenagi, membuat hidup bebas dari yang disebut paksaan, terasa santai dan penuh dengan rekreasi. l. Rasa humor yang bermakna dan etis Rasa humor orang yang mengaktualisasikan diri berbeda dengan humor kebanyakan orang. Ia tidak akan tertawa terhadap humor yang menghina, merendahakan bahakan menjelekkan orang lain, humor orang yang mengaktulisasikan diri bukan saja menimbulkan tawa, tetapi sarat dengan makna dan nilai pendidikan. Humornya benar-benar menggambarkan hakikat manusiawi yang menghormati dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. m. Kreativitas Sikap kreatif merupakan karakteristik lain yang dimiliki oleh orang yang mengaktulisasikan diri. Kreativitas ini diwujudkan dalam kemampuanya melakukan inovasi-inovasi yang spontan, asli, tidak dibatasi oleh lingkungan maupun orang lain. Ciri-ciri yang berkaitan dengan karakteristik ini atara lain fleksibilitas, spontanitas, keberanian, keterbukaan dan kerendahan hati. n. Indenpedensi Orang yang mengaktulisasikan diri mampu mempertahankan pendirian dan keputusan-keputusan yang ia ambil. Tidak goyah atau terpengaruh oleh berbagai guncangan ataupun kepentingan. Ia dapat berdiri sendiri dan otonom, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosial untuk berpikir dan bertindak menurut cara-cara tertentu yang diyakininya baik. o. Pengalaman puncak Bagi mereka yang mengaktulisasika diri akan memiliki perasaan yang menyatu dengan alam. Ia merasa tidak ada batas atau sekat antara dirinya dengan alam semesta. Artinya, orang yang mampu mengaktulisasikan diri terbebas dari sekat-sekat berupa suku, bahasa, agama, ketakutan, keraguan dan sekat-sekat lainya. Oleh karena itu, ia akan memiliki sifat yang jujur, ikhlas, bersahaja, tulus hati dan terbuka. Karakter karakter ini merupakan cerminan orang yang berada pada pencapaian kehidupan yang prima. Konsekuensinya ia akan merasakan syukur kepada Tuhan, orang tua, orang lain, alam dan segala sesuatu yang menyebakan keberuntungan tersebut. 2 Faktor penghambat dalam beraktualisasi diri Sebagai kebutuhan paling tinggi diantara kebutuhan lainya, aktualisasi diri menjadi kebutuhan paling sedikit dapat dicapai oleh manusia, karena tidak mudah dimulai, hal tersebut lebih sering dilawan maupun dihalangi, beberapa halangan dalam beraktualisasi diri adalah sebagai berikut: 1. Berasal dari dalam individu Yaitu, berupa ketidaktahuan, keraguan dan bahkan juga rasa takut dari individu untuk mengungkapkan potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga potensi itu tetap laten, potensi diri merupakan modal yang perlu diketahui, digali dan dimaksimalkan. Perubahan hanya dapat terjadi jika seseoarang mengetahui potensi yang ada dalam dirinya kemudian mengarahkan potensi itu kepada tindakan tepat dan teruji. 2. Berasal dari luar atau masyarakat Yaiutu berupa kecenderungan mendeporsonalisasi individu, perpresesian sifat-sifat, bakat atau potensi-potensi. Hambatan ini dapat berasal dari masyarakat, keluarga maupun kebudayaanya. Proses pengaktualisasian diri ini baru dapat teraih bila lingkungan secara kondusif memberi kebebasan individu untuk berlatih mengebangkan potensinya secara optimal yang dibantu melalui proses pendidikan. Begitu juga dengan kebudayaan, seringkali kebudayaan tidak mendukung upaya aktualisasi potensi diri seseorang karena perbedaan karakter. Selain factor lingkungan dan juga kebudayaan, factor keluarga juga menjadi salah satu factor yang mungkin dapat mempengaruhi proses pencapaian aktualisasi anak. Salah satu factor keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pengaktualisasian diri adalah praktik pengasuhan anak, jika anak terlalu dilindungi dan tidak diperbolehkan untuk menunjukkan perilaku-perilaku yang baru dipelajarinya, mengeksplorasi ide-ide baru ataupun melatih kemampuan baru. Mereka seperti dihalangi untuk menjadi dewasa, terhambat dalam perkembangan dan pengungkapan dirinya sendiri dalam berbagai kegiatan yang merupakan hal penting untuk mencapai aktualisasi diri, sebaliknya, orang tua yang terlalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya, juga dapat lebih berbahaya. Maslow memperingatkan bahwa kebebasan yang berlebihan yang didapat di usia anak-anak, akan membawa mereka kearah kecemasan dan rasa tidak aman, hambatan pada kebutuhan akan rasa aman, hal ini akan menghambat pertumbuhan selanjutnya. Keseimbangan antara kebebasan dan juga peraturan sangat diperlukan. 3. Berasal dari pengaruh negatif Alasan lain yang juga menjadi penyebab kegagalan pencapaian aktualisasi diri adalah apa yang disebut Maslow sebagai Jonah kompleks. Hal tersebut mengacu kepada ketakutan-ketakutan dan keragu-raguan terhadap kemampuan yang kita miliki, secara bersamaan kita merasa takut dan gentar dengan kemungkinan-kemungkinan tertinggi yang kita miliki, tetapi dalam semua hal itu ketakutan merupakan penyebab utama. Aktualisasi selalu memerlukan keberanian. Bahkan ketika kebuthan yang paling dasar telah terpenuhi, kita tidak bias hanya bias duduk diam dan menunggu suatu kesempatan untuk mencapai aktualisasi diri dan pemenuhan diri. Ada proses yang harus diambil, disiplin dan juga control diri. Terlihat lebih mudah dan lebih aman ketika kita menjalani hidup sebagaimana adanya disbanding mencari tantangan-tantangan baru. Orang-orang yang mengaktualisasikan diri secara terus menerus menguji dan menentang diri mereka sendiri. Mereka meninggalkan rasa aman dan kenyamanan yang mereka punyan dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap yang biasa mereka lakukan. Hambatan ini merupakan pengaruh negative yang dihasilkan oleh kebutuhan yang kuat akan rasa aman. Oleh individu-individu yang kebutuhan akan rasa amannya terlalu kuat, pengambilan resiko, perbuatan kesalahan, dan pelepasan kebiasaan lama yang tidak konstruktif itu justru akan merupakan hal-hal yang mengancam dan menakutkan, dan pada gilirannya ketakutan ini akan mendorong individu-idividu tersebut untuk bergerak mundur menuju pemuasan kebutuhan akan rasa aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar